Melukis Senja

Cerpen Depo
Dimuat di Aneka Yess!



Ah, bocah itu… usianya masih belasan tahun, tapi dia memiliki kebijaksanaan seorang resi yang telah bersemedi ratusan tahun!

Aku memandangi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding-dinding kamarku. Semuanya adalah “mahakarya” dari seorang pelukis muda yang sangat berbakat. Bukan aku yang mengatakan lukisan-lukisan itu sebuah “mahakarya”. Tapi mereka yang mengatakannya. Para kolektor lukisan. Dan bukan pula aku yang mengatakan pelukis yang melahirkan lukisan yang mereka sebut sebagai “mahakarya” itu seorang yang sangat berbakat. Tidak, aku tidak pernah mengatakannya. Mereka yang mengatakannya. Mereka pengamat-pengamat seni, kurator-kurator yang banyak menentukan lukisan mana yang pantas dipajang di galeri-galeri seni ternama atau di pameran-pameran lukisan berkelas.

Aku sendiri tidak tahu mengapa lukisan-lukisan itu mereka sebut “mahakarya”. Sebab menurutku, tak satu pun karya yang lahir dari tangan-tangan manusia pantas disebut sebagai “mahakarya”. Tidak seorang Affandi, Basuki Abdulah atau siapa pun. Tidak. Hanya Allah saja yang pantas. Yang kutahu, aku hanya merasa bahagia ketika berhasil menyelesaikan semua lukisan-lukisan itu. 


Ya. Sesungguhnya, akulah pelukis yang melahirkan lukisan-lukisan itu. Akulah yang mereka sebut sebagai The Rising Star. Seseorang yang kelak akan sebesar Affandi atau Basuki Abdulah. Bahkan lebih besar lagi. Begitu pendapat mereka. Tapi mengapa aku merasa bahagia setiap kali berhasil menyelesaikan sebuah lukisan? Aku sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu. Sebuah perasaan. Siapakah yang mempu menerjemahkannya ke dalam bahasa kata? Itu makanya, aku lebih memilih melukiskannya.

Dengan kuasku, kuterjemahkan segala yang kurasa ke atas kanvas. Terkadang tanpa bentuk. Hanya sapuan-sapuan melingkar, lurus, segitiga, kubus dan entah berebentuk apalagi, dengan kombinasi warna yang mampu menggambarkan letup-letup rasa di dalam kalbu: sedih, bahagia, marah, benci, muak, putus asa, dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya. Abstrak. Tapi memang, sampai saat ini aku lebih dikenal sebagai seorang realis dan juga naturalis. Karya-karya abstrakku hanya kusimpan sendiri.

Bahkan terkadang, setelah aku selesai membuatnya, aku membuangnya ke tong sampah! Entah mengapa, selalu saja ada kolektor yang datang menawar lukisanku. Dengan harga tinggi! Sampai-sampai aku bertanya dalam hati, apa pantas aku mendapatkan penghargaan setinggi itu untuk lukisan-lukisan abstrak yang kubuat, padahal aku hanya melukiskan perasaanku saja? Entah. Saat itu aku tak mampu menjawab pertanyaanku sendiri.

Aku baru menemukan jawabannya sejak beberapa bulan lalu. Sejak aku tak lagi mampu menerjemahkan apapun ke dalam kanvasku, aku baru tahu, betapa berharganya lukisan-lukisan itu. Banyak orang yang tak mampu menerjemahkan perasaannya ke dalam bentuk apa pun. Sebelum akhirnya dia frustasi. Dan mencoba untuk bunuh diri. Atau menjadi penghuni bangsal Rumah Sakit Jiwa! Seperti yang kualami saat ini. Frustasi! Haruskah aku bunuh diri?Beberapa bulan lalu.

Malam. Bulan mengintip dari balik legam lengan awan. Kota terlelap dalam mimpi basah musim penghujan. Tiger 2000-ku meluncur tenang di atas aspal basah. Hujan lebat sore tadi, tidak menurunkan minat para kolektor lukisan mengunjungi pameran lukisanku. Bukan pameran tunggal, memang. Tapi dua pelukis yang memajang karyanya di pameran itu, telah sangat dikenal luas. Itu saja sudah membuat aku bangga. Lebih bangga lagi ketika seorang kolektor lukisan asal Negeri Jiran, membeli lukisanku dengan harga senilai sedan mewah! Wow. Jumlah yang sangat fantastis buatku. Total ada empat lukisanku yang terjual malam itu. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku saat itu.

Malam melarut. Hujan kembali merinai. Pukul 00:00:00 WIB. Ponselku bergetar. Aku memperlambat laju Tiger 2000-ku. Baru saja hendak kujawab panggilan itu, saat tiba-tiba …


Braaaaakkkkk…!!! Tiger 2000-ku limbung, terjerembab, menyusur aspal jalanan. Ponselku terlempar entah ke mana. Aku tertelungkup. Terseret beberapa meter.

Masih sempat kulihat seorang pria bule melarikan Harley Davidson-nya dengan kecepatan tinggi, sebelum… crrraaasss! Sebuah station wagon yang juga meluncur kencang di belakang, tak sempat menghindariku. Roda depan dan belakangnya melindas tangan kananku! Semua terjadi begitu cepat. Hanya dalam hitungan detik saja. Setelah itu aku tak ingat lagi apa yang kemudian terjadi. Sampai aku menemukan diriku terbaring di atas ranjang ruang VVIP sebuah rumah sakit, dengan sebelah tangan yang teramputasi! Di sudut lain di dalam kamarku, sebuah bungkusan tergolek sunyi terasing dari benda-benda lainnya. Aku yang meminta Nadia meletakkannya di sana. Entah apa maksud adikku itu memberikan hadiah itu kepadaku. Tanpa membuka bungkusannya pun, aku tahu kalau itu sebuah lukisan. Sebuah lukisan. Untuk apa dia memberikan sebuah lukisan kepadaku?! Apa karena dia ingin menertawai keadaanku? Itu yang kupikirkan saat menyuruhnya meletakkan bungkusan itu di sana. Yah… orang cacat seperti aku ini memang mudah sekali tersinggung.

Tapi malam ini, ada dorongan hebat dari dalam diriku, untuk mengetahui isi di balik sampul coklat itu. Lukisan seperti apa yang diberikannya kepadaku?Kurobek sampul coklat itu. Sebuah senja. Ketika matahari mementaskan tarian selamat tinggal sebelum langit berubah menjadi gelap. Lempengan bola api itu tersurup setengah ke balik cakrawala. Membias jingga di hamparan laut tenang. Siluet burung camar dan kapal - kapal nelayan yang melintas terjelmakan dengan sempurna di atas kanvas. Juga mercusuar itu. Indah!

Entah siapa yang telah melukisnya. Dan mengapa Nadia memberikan lukisan itu kepadaku? Ah, sial! Setiap kali aku melihat lukisan bagus, aku selalu terdorong untuk membuat sebuah lukisan. Padahal saat ini aku… Kuambil kanvas dan kuas. Kucelupkan kuas ke dalam cat minyak. Tapi… sulit sekali kugerakkan tangan kiriku. Aku belum mau menyerah. Kucoba sampai beberapa kali. Tapi sia-sia. Aku memang bukan seorang kidal. Sial! Sial Sial! Kucoret-coret kanvas seenaknya. Kuhempaskan. Jatuh berantakan. Aku terduduk di lantai. Putus asa. Siaaaaallll…!!!

Seseorang memperhatikan aku dari ambang pintu kamarku. Entah sejak kapan dia ada di situ.

“Nadia?”

Gadis itu menatap iba kepadaku. Aku tak suka melihat tatapan itu. Tapi… aku memang pantas dikasihani. Seorang pelukis yang diramalkan akan melebihi kebesaran Affandi atau Basuki Abdulah, harus kehilangan tangan kanannya dalam sebuah kecelakaan. Padahal, tangan itu yang telah menghasilkan lukisan-lukisan yang mereka sebut sebagai “mahakarya”. Ah, adakah yang lebih menyedihkan dari itu?

“Untuk apa kau memberikan lukisan itu kepadaku?!”


“Aku ingin Mas membuat yang lebih indah dari itu.”


“Ah! Kau memang ingin mengejekku!”


“Mengejek?!”


“Ya. Jangankan membuat yang lebih bagus dari itu. Yang menyerupai itu pun aku tak mampu.”


“Kenapa tidak?”


“Kamu masih bertanya mengapa?! Lihat! Lihat tanganku!”


“Tapi Mas masih memiliki tangan kiri.”


“Tangan kiri ini?” aku mengacungkan tangan kiriku yang masih belepotan cat minyak. “Dia sama sekali tidak berguna! Membuat lingkaran sempurna saja tidak bisa!”


“Pengecut!”


“Apa katamu?”


“Pengecut!”

Aku tertunduk. “Kamu memang benar. Kini aku hanyalah seorang pecundang.”


“Ikut aku!”


“Hei.”

Percuma aku menolaknya. Nadia telah menarik tanganku. Terpaksa kuikuti langkahnya.


Mobil yang dikemudikan Nadia berhenti di depan pagar sebuah rumah sederhana bergaya pedesaan. Asri. Rimbun pohon yang tumbuh dipekarangan menyejukkan. Hampir tak percaya melihat pemandangan semacam itu ada di salah satu sudut Jakarta.

“Ayo.” Nadia membuka pintu mobil.


“Mau apa?”


“Ikut saja.”


Beberapa kejap kemudian kami telah berdiri di depan pintu rumah asri itu.


“Assalamu ‘alaikum!” sapa Nadia sambil mengetuk pintu tiga kali.


“Wa’alaikum salam.” Terdengar sahutan dari dalam. Suara seorang wanita.

Tak lama kemudian, pemilik suara itu membuka pintu. Matanya membelalak melihat Nadia. Lalu keduanya saling tertawa. Berpelukan. Rupanya gadis itu teman Nadia waktu di SMP, sekarang Nadia sudah duduk di bangku SMU.

“Kenalkan, ini kakakku, Mas Denny.” Nadia memperkenalkan namaku pada temannya itu.


“Oo… yang pelukis itu kan?”

“Dulu” kataku datar, “Sebelum tanganku…”


“Wah… adikku suka sekali dengan lukisan-lukisan Mas Denny. Dia terinspirasi ingin menjadi seorang pelukis, setelah Nadia mengajaknya melihat-lihat lukisan Mas Denny, beberapa tahun lalu. Oya, ngomong-ngomong, nama saya Rosa. Masuk yuk!”

Aku dan Nadia duduk di bangku bambu di dalam ruang tamu. Aku begitu terpesona dengan lukisan-lukisan yang dipajang di dinding-dinding ruang tamu itu. Aku berdiri. Meneliti lukisan-lukisan itu.

Hampir semua objek yang dilukisnya adalah senja. Pasti dia pelukis yang lukisannya diberikan Nadia kepadaku. Tapi mengapa dia suka sekali melukis senja?

“Adikku rabun senja,” kata Rosa seolah tahu apa yang ada di kepalaku. Gadis berjilbab sebaya adikku itu meletakkan dua gelas minuman di atas meja.


“Silahkan.”

“Makasih.” Aku dan Nadia menyeruput minuman yang disediakan.


“Makanya dia suka sekali melukis senja. 
‘Dengan melukis senja aku jadi bisa menikmati keindahannya yang tak mungkin kunikmati’, begitu katanya.”

“Bagaimana dia melukis senja, kalau sejak lahir dia belum pernah melihat senja?”


“Dia mendengar dari cerita-ceritaku, cerita-cerita fiksi yang dibacanya, televisi, atau foto-foto yang mengabadikan keindahan senja.”


“Ah, pasti adikmu pandai sekali. Dia memiliki tangan ajaib yang mampu membuat lukisan-lukisan seindah itu.”


“Tangan?”

Kulihat Nadia mengedipkan sebelah matanya kepada Rosa. Entah apa maksudnya. Aku terlalu asyik dengan lukisan-lukisan yang terpajang hampir di semua dinding rumah itu.


“Ngomong-ngomong, adikmu mana?” tanya Nadia.

“Dia sedang melukis di kamarnya. Kalau sudah begitu, tak seorang pun yang berani mengganggunya. Tapi sebentar lagi dia pasti keluar dari kamarnya. Sudah hampir Ashar. Dia hanya berhenti kalau mendengar suara adzan saja. Selepas sholat, dia akan kembali melukis.”


“Anak itu memiliki kemauan yang luar biasa!”

“Yah… berkat kamu, Nadia.”

Benar saja, sesaat setelah terdengar suara adzan mengumandang, aku mendengar suara derit pintu dikuak. Lalu langkah-langkah kaki di lantai kayu.

“Faiz, sini sebentar! Ada teman Mbak yang mau ketemu sama kamu!” panggil Rosa tanpa beranjak dari tempat duduknya.

Langkah-langkah kaki semakin mendekat, sebelum akhirnya si pemilik tubuh ramping itu berdiri di hadapan kami semua.

“Ada apa, Mbak?”


Subhanallah! Inikah pelukis yang katanya rabun senja? Sungguh bocah belasan tahun inikah yang telah begitu sempurna memindahkan pemandangan senja ke dalam kanvas-kanvasnya? Ah, dia bahkan tidak memiliki sepasang lengan pun! Lalu, bagaimana cara dia melukis?

“Faiz masih ingat waktu diajak Mbak Nadia ke rumahnya, nggak?”

“Iya. Mbak Nadia mengajak aku melihat-lihat lukisan kakaknya. Dan sejak saat itu, aku bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis seperti kakaknya Mbak Nadia.”

“Ini dia orangnya,” Rosa menunjuk aku. Faiz melempar pandangnya ke arahku. Matanya berbinar. Aku tersenyum.


“Wah… kakak yang namanya Mas Denny?” Faiz masih tak percaya. Aku menganggukkan kepala.

“Sudah lama banget Faiz mau kenal sama Mas. Tapi…” bocah itu mengerenyitkan dahinya, melihat ke arah tangan kananku yang teramputasi.

“Lengan kanan Mas? Mbak Nadia kok nggak pernah cerita sama aku kalau Mas Denny juga…”

“Oh, ini?” kataku memperlihatkan lenganku yang teramputasi hingga beberapa centi di atas siku.

“Kejadianya belum lama. Ada bule mabok yang menabrak motorku dari belakang.”


“Ah, Mas Denny beruntung masih memiliki tangan kiri. Lihat aku, satu saja nggak punya!” katanya sambil tertawa, seolah tak ada beban saat mengucapkan itu.

“Waktu usia 2 tahun, Faiz menderita kanker tulang di kedua lengannya. Terpaksa harus diamputasi sebelum menjalar ke mana-mana,” terang Rosa.


“Lalu, bagaimana cara dia melukis?”

“Sejak dia pulang dari melihat lukisan-lukisan Mas Denny, dia langsung minta dibelikan perlengkapan melukis. Dia berlatih melukis menggunakan jari-jari kakinya.”

“Oya?” kataku takjub.


“Yah… cukup lama juga, sebelum aku bisa membuat sebuah lingkaran sempurna, Mas.”

Ah, bocah itu… usianya masih belasan tahun, tapi dia memiliki kebijaksanaan seorang resi yang telah bersemedi ratusan tahun!

“Besok Faiz punya acara, nggak?”


“Mmh…” Faiz berfikir. “Paling-paling hanya melukis, Mas.”

“Mau temani Mas Denny ke pantai?”


“Ke pantai?” mata Faiz berbinar. “Wah… mau banget, Mas! Tapi mau apa ke pantai, Mas?”


“Ajari aku melukis senja.”


“Mas Denny sungguh-sungguh?” Nadia menatapku tak percaya.


Aku menganggukkan kepala. Sambil tersenyum. Nadia memelukku. Menangis terharu.

“Hooorrrrreeeeee…!!! Besok kita ke pantai…!!!” Faiz melonjak kegirangan.

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini