Misteri Rumah Hantu

Novel Denny Prabowo dan Dhinny El-Fazilah
Diterbitkan oleh Mitra Bocah Muslim, 2006


Rumah besar itu berdiri persis di depan rumah Adji. Sudah bertahun-tahun nggak ada yang menempati. Oleh pemiliknya ditinggalkan begitu saja. Nggak ada yang tau pasti ke mana penguni rumah itu. Tapi dari cerita orang-orang sekitar, pemilik rumah itu ditangkap oleh polisi karena kasus penipuan. Isterinya yang ngerasa malu, akhirnya mengakhiri hidupnya dengan minum racun serangga.

Makanya banyak yang percaya, kalau di rumah itu ada hantunya. Sudah banyak cerita-cerita yang beredar di lingkungan sekitar rumah itu. Adji sendiri gak berapa tau sejarah rumah itu. Saat dia dilahirkan, rumah itu sudah ada. Dan sudah gak berpenghuni.

“Jadi gak ada yang tau ke mana orang-orang yang dulu tinggal di tempat itu?” tanya Ody penasaran. Adji menggelengkan kepala.

“Pokonya, tempat itu syerem banget deh!”

“Banyak hantunya?”

“Iya.”

“Tapi hantu itu kan gak ada.”

“Kata siapa?”

“Kata bapakku. Hantu itu cuma perasaan.”

“Tapi banyak orang yang pernah ngalamin kejadian-kejadian aneh di tempat itu.”

“Kalau itu mah, jin kafir yang memang bisa ngerubah wujud jadi apa saja, kecuali jadi Nabi Muhammad. Namanya jin Qorin!”

“Jadi gak ada ya yang namanya arwah penasaran?”

“Ya, gak ada. Cuma Allah saja yang tau di mana arwah orang yang sudah meninggal.”

“Emangnya kamu pernah liat, Dji?” tanya Ody.

“Liat sendiri sih, belum,” lanjut Adji, “tapi waktu itu ada orang yang pesan sate dari rumah itu, terus waktu pesanannya sudah selesai, orang itu gak muncul-muncul! Abang aku sendiri yang menyaksikan tukang sate itu kebingungan.”

“Lho, harusnya kan tukang sate itu tau kalau rumah itu kosong?”

“Di situ letak keanehannya. Malam itu, si tukang sate ngeliat rumah itu terang-benderang. Dan banyak orang. Jadi dia pikir rumah kosong itu sudah ada yang nempatin.”

“Hiiiyyy...!” Ody merinding mendengar cerita Adji.

“Kalian jadi nginep di rumah aku kan?” tanya Adji.

“Emangnya orangtua kamu ke mana?” Amien balik tanya.

“Mereka pergi ke rumah nenekku yang tinggal di Bogor.”

“kakak kamu?” tanya Ody.

“Dia ada acara di sekolahnya. Ikutan pesantren kilat.”

“Wah, kakak kamu berani banget!” kata Ody, “Apa gak takut gosong kesaber kilat?”

Adji sama Amien tertawa mendengar oecehan Ody barusan.

“Ody, Ody... yang namanya pesantren kilat itu, maksudnya waktu pelaksanaannya cepat, hanya selama bulan ramadhan berlangsung saja,” terang Adji.

“Oh, gitu...”

“Nanti deh, aku minta ijin sama bapakku,” janji Amien.

“Kamu ikut nginep juga kan, Dy?” tanya Adji.

“Aku takut, ah...” ujar Ody.

“sekarang kan bulan ramadhan,” timpal Amien.

“Terus kalau bulan ramadhan kenapa emangnya?” tanya Ody.

“Selama bulan ramadhan, syetan di rantai di neraka sama Allah,” terang Amien.

“Kamu penakut banget sih, Dy!” ucap Adji.

“Iya, deh... iya,” kata Ody akhirnya, “nanti aku ngomong dulu sama mamaku...”

“Gitu dong!” Adji menepuk pundak Ody keras, sampai kaca mata anak itu terjatuh. Ody misuh-misuh. Coba balas menepuk pundak Adji. Tapi Adji cukup sigap berkelit.

Khotib naik ke atas mimbar untuk menyampaikan ceramah sebelum salat tarawih dilaksanakan. Amien memberi isyarat pada kedua temannya untuk tenang dan mendengarkan ceramah yang akan disampaikan khotib. Ketiganya sudah bersiap dengan buku catatan mereka masing-masing. Mereka medapat tugas dari sekolah untuk mencatat isi ceramah selam bulan ramadhan, dan minta tanda tangan dari penceramahnya.

***

Rumah besar itu tampak berdiri sunyi, diapit rumah-rumah lainnya. Gelap. Hanya bagian terasnya saja yang tersiram cahaya, dari lampu jalanan, yang dipasang di depan rumah Adji. Dari jendela kamar Adji, yang terletak di bagian depan rumahnya, rumah besar itu tampak jelas sekali.

“Kamu kok berani banget, Dji?” kata Ody sambil melirik rumah besar dari jendela kamar Adji, “Apa gak takut kalau-kalau hantu itu ngintipin kamar kamu?”

“Hmm... sebenarnya sih takut, tapi... malu dong! Masa anak laki penakut?”

“Lagian, memang syetan gak perlu ditakutin!” timpal Amien, yang sedari tadi asyik rebahan di tempat tidur Adji.

“Dji, buka sahur nanti kita makan apaan?” tanya Ody.

“Kalian tenang saja, ibuku sudah nyiapin buat makan sahur kita kok.”

“Siiip dah!”

Tiba-tiba hidung mereka mengendus sesuatu.

“Kayak bau...”

“Kemenyan!”

Adji sama Ody langsung lompak ke tempat tidur, menyusul Amien yang memang sudah dari tadi rebahan di sana. “Kalian apa-apaan, sih?” Amien sewot.

“Masa kamu gak nyium, Mien?” Adji heran.

Amien kemudian mengendusi udara. Dia juga mencium bau yang sangat menusuk hidungnya. Bau kemenyan! Kata orang-orang, kalau bau kemenyan, itu tandanya bakalan ada syetan!

“Gimana, nih?” Ody merinding, “Aku pulang saja ya?”

“Yah... kamu gak solider banget sih sama teman!” Adji kesel.

Tiba-tiba mata Adji menangkap sesosok tubuh di atap rumah kosong itu.

“Dy...Mien...” Adji ngomong dengan tampang ketakutan. Ody yang memang penakut jadi tambah ketakutan

“Ap..apaan sih Dji? Jangan...nakutin gitu dong,” Ody makin ketakutan.

“Itu...itu...” Adji menunjuk bayangan sesosok tubuh di atap rumah kosong itu.

“Mana sih?” Amien mencari-cari bayangan yang dimaksud Adji. Ody sudah dari tadi mendekap kepalanya dengan bantal. Dia nggak berani lihat.

Amien berusaha mengamati bayangan itu lebih detail. Sebenarnya dia agak takut juga. Tapi karena dia yakin hantu itu nggak ada, jadinya dia malah penasaran.

“Dji, kamu punya senter nggak?” tanya Amien penasaran karena bayangan itu nggak pindah-pindah dari atas atap.

“Mau ngapain Mien?” Adji balik nanya sambil mengambil senter di laci mejanya. Lalu memberikannya pada Amien. Amien mengambil senter itu dari tangan Adji, kemudian menyalakannya dan mengarahkannya ke atap rumah kosong itu dari jendela kamar Adji.

Terang saja Adji jadi ketakutan. “Mien, Jangan! Nanti hantunya, eh jinnya, liat kita di sini!” Sedang Ody bukan ketakutan lagi. Dia nggak berani buka kepalanya dari bantal.

Setelah merasa dirinya di senter, sosok hitam di atas atap itu kaget dan kabur.

Amien dan Adji bernafas lega. Tak lama mereka seperti mencium sesuatu.

“Ehm...kayak...bau pesing,” kata Adji.

“Iya nih,” Amien mengendus-endus. Saat berbalik, mereka berdua mendapati Ody sudah ngompol. Amien tertawa.

“Ody...!!” Teriak Adji. Soalnya itu berarti dia harus ngepel kamarnya dari pipis Ody.

***

Esok harinya mereka membaca koran mengenai ditangkapnya seorang pencurian yang berusaha merampok sebuah rumah di Jl. Anggrek No.89. Sayangnya usaha pencurian tersebut gagal karena diduga ada orang yang mengetahui usahanya.

Adji yang tidak sengaja membaca koran pagi di tukang koran ujung gang berkerut-kerut jidatnya.

“Jl. Anggrek No.89... Itu kan... Amien, Ody sini deh!” Adji memanggil Amien yang sudah berjalan duluan di depannya. Amien dan Ody berbalik ke belakang.

“Kenapa?” tanya Amien.

“Itu...” Adji menunjuk headline koran itu. Adji dan Ody membacanya.

“Ooo... jadi itu maling ya?” kata Ody.

“Iya, makanya jangan keburu ngompol dulu. Kan aku jadi susah bersihin kamarku.”

“Maaf, deh...maaf. Itu kan nggak sengaja.” Ody tertunduk. Malu. Amien cuma ketawa.[]

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini