Kabut Mandalawangi #3

Novel Denny Prabowo
Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, 2005


Fajar mengeluarkan kerilnya dari dalam lemari pakaian Bunda. Semuanya masih tersimpan di sana; slepping bag, matras, raincoat, kupluk, sarung tangan, belati, kompor gas mini, dan tenda. Melihat benda-benda itu, dirinya bagai terlempar kembali ke masa lalu. Masa yang berusaha dikuburnya selama lima tahun ini. Dia tidak pernah menyangka kalau dirinya akan bersentuhan dengan benda-benda itu kembali.

Fajar beranjak ke kamarnya, mengambil beberapa potong pakaian dan sweater dari dalam lemari pakaiannya, membenamkannya ke dalam keril miliknya. Kemudian dia menghampiri rak buku di samping komputernya. Mengambil sebuah kompas dari dalam laci yang ada di bagian paling bawah. Kompas peninggalan ayahnya. Dia menyelipkan kompas itu ke dalam saku jaketnya.

“Sudah siap, Mas?” wajah Edel menyembul dari balik pintu kamarnya.

Fajar berdiri menyandang keril di pundaknya. “Aku sudah siap.” Berjalan menghampiri Edel.

Edel menggandeng tangan kakaknya. Hari itu dia sangat bahagia, karena impian masa kecilnya akan segera terwujud. Dan yang paling membuat gadis hitam manis itu berbinar-binar, dia akan mendaki bersama orang yang ketika kecil dulu begitu dia kagumi dan menjadi inspirasinya untuk menjadi seorang petualang, kakaknya.

“Mas terlihat gagah menyandang keril itu,” puji Edel. Fajar tersenyum membelai kepala adiknya.

Kedua kakak beradik itu kemudian berangkat menuju sekertariat Palatara di sekolah Edel.

Di depan bangunan 3 x 3 meter yang berada persis di sisi lapangan basket itu sudah tampak ramai oleh anggota Palatara yang akan berangkat mendaki ke Gunung Gede-Pangrango. Mereka sedang menunggu truk tentara yang akan mengangkut mereka ke titik awal pendakian di kaki Gunung Putri.

Begitu melihat kedatangan Edel bersama kakaknya, Adinda langsung menyambutnya di depan pintu sekertariat. Di belakangnya berdiri seorang pemuda berkulit sawo matang dengan rambut cepak ala seorang militer. Pemuda yang sejak tadi sudah tak sabar menunggu kedatangan sahabat lamanya. Pemuda itu adalah Bayu, sahabat Fajar ketika masih sama-sama aktif di Mapala Nusantara, tempat mereka kuliah dahulu. Teman seperjuangan. Mereka hampir tak pernah terpisahkan. Bersama-sama mereka pernah menaklukkan puncak-puncak tinggi di bumi nusantara. Hanya satu saja puncak yang belum mereka singgahi, Puncak Cartenz di pegunungan Jaya Wijaya. Fajar sudah keburu mengundurkan diri sebelum mimpi mereka menjejakkan kaki di dataran tertinggi di bumi nusantara itu terealisasi.

“Bayu?” Fajar mengamati sosok kurus di hadapannya.

“Angin apa yang membawamu ke tempat ini, Sobat?” Bayu merentangkan kedua tangannya.

“Bayu!”

Kedua sahabat yang sudah lama tak bertemu itu pun saling berpelukan menumpahkan kerinduan. Mereka tertawa-tawa.

Truk tentara yang akan mengangkut mereka tiba. Mereka menaikkan keril-keril mereka ke atas truk. Setelah itu giliran mereka yang naik ke atas truk. Bayu dan Fajar di depan menunjuk jalan.

“Gede-Pangrango… here I come!” pekik Edel sesaat sebelum truk bergerak meninggalkan halaman sekolah, menuju kaki Gunung Putri, di daerah Cipanas. Si tomboy sangat bersemangat.

Hampir malam ketika mereka tiba di titik awal pendakian, kaki Gunung Putri. Kabut mulai turun.

Setelah mereka melapor pada petugas Jagawana setempat, Bayu memberikan pengarahan kepada anggota Palatara yang sebagian besar masih baru kali pertama naik gunung. Selepas isya, rombongan yang berjumlah 25 orang itu memulai pendakiannya.

Awal pendakian merupakan yang terberat karena kondisi tubuh yang belum panas. Pada malam hari, pendakian menjadi bertambah berat. Para pendaki dipaksa berebut oksigen dengan pohon-pohon besar yang tumbuh di tempat itu.

Cahaya senter menyuluh pekat malam.

Edelweiss terlihat sangat bersemangat berjalan di depan Fajar. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan pasti, seolah tak sabar ingin segera tiba di puncak.

Melewati pos Buntut Lutung, pendakian semakin berat. Track yang memiliki kemiringan nyaris melebihi 450, membuat para pendaki mulai kepayahan. Tak terkecuali dengan Edel. Sedikitnya pasokan oksigen ke peru-paru, membuat mereka terserang kantuk.

Edel menghentikan langkahnya. Menggelosorkan tubuhnya ke tanah. Dia menyeka keringat di wajahnya.

“Masih jauh, Mas?”

“Lumayan.”

Edel membuka botol minumannya. Glek… glek… glek… glek… air mineral itu mengalir membasahi kerongkongannya yang terbakar. Setengah botol air dia habiskan.

“Jangan terlalu banyak minum, nanti perutmu mual!” Fajar memperingatkan.

Edel menutup botol minumannya. Berdiri. “Lanjut, Mas!”

Fajar tersenyum bangga melihat semangat yang berkobaran di wajah adiknya.

Mereka melanjutkan pendakian.

Si tomboy melirik arloji di tangannya. Setengah dua dini hari. Hampir dua jam sejak dia istirahat tadi.

“Alun-alun!” teriak sesorang yang berjalan di depan.

“Puncak, Mas?”

“Bukan. Surya Kencana.”

“Yang banyak edelweissnya itu?!”

Fajar mengangguk.

Gadis semampai itu mempercepat langkahnya. Dia tak sabar ingin melihat langsung bunga-bunga abadi itu.

Kabut tebal menyelimuti lembah yang berada pada ketinggian 2750 mdpl itu. Edel tak mampu menyembunyikan kegembiraannya saat jemarinya menyentuh bunga-bunga yang namanya diabadikan Ayah untuk putri yang tak pernah diketahuinya. Ayahnya pernah mengatakan pada Bunda, kalau kelak mereka memiliki seorang putri, harus dinamai dengan nama bunga-bunga abadi itu, Edelweiss.

“Wah… senang ya, ketemu dengan saudara kembarnya,” tegur Adinda seraya melirik ke arah Fajar yang sejak tadi tak lepas-lepas tersenyum melihat si tomboy.

“Tunggu sampai kamu melihat edelweis-edelweiss yang tumbuh di Lembah Mandalawangi,” ujar Fajar.

“Apakah lebih indah dari yang ada di tempat ini?!” Edel antusias. Fajar mengangguk. Gadis itu lalu memalingkan wajahnya ke Adinda. “Kau sudah pernah ke tempat itu?”

“Belum,” jawab Adinda datar. Andai saja Edel melihat wajah sahabatnya yang seketika itu berubah jadi murung… Tapi tak seorang pun yang dapat melihat dengan jelas dalam selimut kabut yang tebal.

Perjalanan ke Puncak Gede dilanjutkan. Rencananya, sebelum matahari terbit, mereka sudah sampai di puncak.

Mereka berjalanan beriringan mengikuti setapak yang membelah sabana. Menembus kabut. Di kiri-kanan setapak, sesekali bunga-bunga edelweiss muncul dari balik kabut.

Setelah tigapuluh menit menyusuri sabana, mereka sampai di Kalimati. Banyak tenda yang berdiri di sana. Botol-botol minuman yang telah kosong diisi kembali, sebelum mereka melanjutkan pendakian ke Puncak Gede.

Pukul 4:30 WIB. Segaris jingga menghias langit di atas cakrawala. Setelah satu setangah jam yang sangat melelahkan, meniti setapak berbatu yang memiliki kemiringan hampir mencapai 750, dari Kalimati, rombongan pendaki Palatar sampai di Puncak Gede.

Fajar berdiri tegak di gigir kawah. Suaranya lantang mengumandangkan adzan di puncak setinggi 2958 mdpl itu. Menggetarkan siapa saja yang mendengarnya. Indah. Dia sudah melakukan ritual itu sejak pertama kali mendaki ke tempat itu saat usianya genab 2 tahun. Ayahnya yang mengajarkannya.

Edel menengadahkan tangannya. Mulutnya komat-kamit mengucap syukur. Ada sensasi yang tak terjelaskan saat kakinya menjejak puncak gunung untuk yang pertama kalinya, tepat di hari ulang tahunnya. Dia merasakan pipinya menghangat oleh butiran-butiran airmata. Dia teringat dengan ayah dan bundanya.

Teja sempurna membakar cakrawala. Edelweiss dan Fajar duduk bersisian menikmati keindahan yang membentang di hadapannya—goresan tangan-tangan Ilahi yang maha sempurna. Di atas cakrawala, sang bagaskara memulai kembara harinya.

“Satu tahun bertambah usiamu, satu tahun berkurang waktumu, berapa yang tersisa? Jangan sampai sia-sia.” Fajar berpuisi. “Selamat Ulang tahun, ya!” Fajar mengecup kenin adiknya.

Edelweiss mencium pungung telapak tangan kakaknya.

“Aku punya sesuatu untukmu,” Fajar merogoh saku jaketnya. Mengambil sesuatu dari dalamnya. “Kompas ini peningalan Ayah. Beliau memberikannya kepadaku saat usiaku sepuluh tahun. Saat itu untuk pertamakalinya aku mendaki ke Puncak Semeru. Dan itu merupakan pendakian terakhirku dengannya.” Fajar menyerahkan kompas pemberian Ayah kepada Edel.

Edel menerima kompas warisan ayahnya dengan penuh haru. “Tapi ini bukan pendakian terakhirku bersama Mas Fajar kan?”

“Insya Allah bukan.”

“Mas mau janji, kalau setelah ini masih akan ada pendakian-pendakian berikutnya bersama aku?” sorot matanya penuh harap.

Fajar mengangguk.

Edel merebahkan kepalanya di bahu kakaknya. Si tomboy yang kini genab 17 tahun itu sedang bermain dengan khayalannya. Dia sedang membayangkan ayah dan bundanya hadir pada saat itu.

Tiba-tiba…

Byaaarrr… byaaarrr… pyaaarrr…

Edel ditimpuki dengan terigu oleh teman-temannya. Rupanya mereka mengetahui kalau hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Wajah gadis hitam manis itu menjadi putih serupa badut Ancol.

Pasti Adinda yang merencanakannya! Pikir Edel. Mata elangnyanya membulat menatap ke arah sahabatnya itu. Yang ditatap tertawa terbahak-bahak.

“Adinda!!!”

Mereka semua tertawa.

Lalu satu per satu menyalaminya. Ah, benar-benar hari ulang tahun yang paling berkesan. Edel terharu. Apalagi saat Adinda mengikatkan slayer Palatara di kepala Edel.

“Sekarang kamu resmi bergabung dengan kami,” kata gadis berjilbab itu memberi selamat. Kemudian keduanya saling berpelukan.

Sore harinya, setelah puas memandangi senja yang berpendara di atas garis cakrawala, sebelum sampai gelap membekap, mereka turun ke pos Kandang Badak. Dari sana mereka akan memulai pendakian ke Puncak Pangrango esok hari. Edel tak sabar menanti sampai saat itu tiba.

^^^

Lepas Zuhur rombongan meninggalkan Kandang Badak menuju puncak Pangrango. Bayu yang memimpin pendakian di depan. Sedang Fajar diminta menjadi sweeper di belakang. Edel berjalan di depannya. Di depan Edel, Adinda. Fajar memang sudah wanti-wanti pada kedua gadis itu agar tak jauh-jauh darinya.

Bayu menjadwalkan pukul setengah empat rombongan sudah sampai di puncak Pangrango. Namun karena kebanyakan dari mereka baru pertama kali mendaki ke tempat itu, pendakian jadi berjalan sangat lamban. Selain jalur yang menuju puncak setingi 3019 mdpl itu memiliki medan pendakian yang cukup sulit—tak jarang mereka harus merayapi tanah licin dengan kemiringan hingga 900 dan ketinggian sampai tiga meteran, ditambah kondisi fisik yang sudah jauh menurun setelah pendakian ke Puncak Gede, banyak dari peserta pendakian yang setiap beberapa meter melangkah, beristirahat.

Sebagai sweeper, Fajar harus tetap menjaga posisi berada di paling balakang. Akibatnya, dia tertinggal satu jam dari pendaki terdepan.

“Del, Adinda mana?” matanya berkeliling mencari adik Arini itu.

“Tadi dia jalan di depanku.”

“Kenapa kamu nggak suruh menunggu?!” Fajar mulai kelihatan panik.

“Mas tenang aja... Adinda sudah berpengalaman naik gunung. Dia sudah beberapa kali menjejak Puncak Gede.” Edel coba menenangkan kakaknya.

“Arini, kakaknya juga cukup berpengalaman. Tapi apa yang terjadi...? Aku nggak mau sampai kejadian itu terulang kambali!”

Fajar terlambat dua jam dari rencana pendakian. 17.30 dia baru tiba di Puncak Pangrango. Fajar meneliti satu persatu wajah anggota Palatara yang sedang melepas lelah. Semuanya ada di sana, kecuali...

“Bay, kamu lihat Adinda?” tanya Fajar pada sahabatnya.

“Tadi sih ada.” Bayu celingukan mencari Adinda. “Ke mana ya...”

“Sudah ada yang ke Mandalawangi?”

“Belum. Semuanya aku suruh menunggu sampai pendaki terakhir tiba.”

“Ada yang lihat Adinda?”

“Tadi saya lihat dia jalan ke arah sana.” Seorang anggota Palatara menujuk setapak yang menuju Lembah Mandalawangi.

“Mandalawangi?! Apa dia sudah pernah ke tempat itu sebelumnya?”

“Belum. Dia baru pertama kali ke sini,” Bayu menjelaskan.

Wajah Fajar bertambah panik.

“Kenapa, Mas?” tanya Edel, “Adinda belum ketemu?”

Fajar mengangguk. Cemas.

“Bay, aku coba cari ke Mandalawangi.”

“Oke deh. Aku sama yang lainnya segera menyusul.”

Fajar segera berlari menuju setapak yang mengantarkannya ke lembah yang terapit Puncak Pangrango dan Puncak Mandalawangi.

“Aku ikut, Mas!” Edel membuntuti di belakangnya.

Kabut mulai turun di tempat itu. Sebentar lagi gelap. Fajar berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama Adinda. Edel turut berteriak. Tapi tak juga ada yang menyahut.

Tiba-tiba Fajar seperti teringat pada sesuatu. Pasti ke sana! Batinnya. Dia segera berlari menyusuri setapak yang menuju mata air di dekat lereng.

Alhamdulillah! Ucapnya dalam hati saat dari kejauhan tampak seorang gadis berjilbab sedang duduk di atas rumput. Fajar segera mendekatinya.

Gadis itu duduk memeluk lututnya. Dia menoleh begitu tahu kedatangan fajar besama Edelweiss. Kedua belah pipinya banjir airmata. Terisak memeram kesedihan.

“Di mana Mas Fajar menemukannya?” wajah gadis itu diselimuti kabut tebal.

Fajar mendesah. Ia meletakkan tubuhnya di samping Adinda.

“Aku menemukannya jauh di bawah sana.” Fajar menunjuk ke dasar lereng.

“Aku merindukannya...,” tangisnya pecah. Edel memeluk sahabatnya. Mencoba menenangkannya.

Senja meremang. Sesaat kemudian langit menggelap. Kabut memagut. Tenda-tenda telah selesai didirikan. Para peserta pendakian sibuk dengan dirinya masing-masing. Ada yang menunaikan shalat maghrib. Ada yang merebus air. Ada yang memasak hidangan untuk mengisi perut-perut mereka yang kelaparan.

Malam merayap perlahan. Mereka semua berkumpul mengelilingi unggun yang berkobaran menjilati udara malam, menanti saat pergantian tahun. Hanya Adinda saja yang tak tampak di sana. Gadis berjilbab itu ingin menyendiri di tendanya. Hatinya sedang diliputi kesedihan. Dia sedang terkenang dengan kakaknya yang meninggal di tempat itu lima tahun lalu.

Pukul 00.00 WIB.

Tahun berganti. ***

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini