Sore di Muka Plaza


Senja itu, langit tampak kelabu. Mendung menggantung di atap kota. Amin yang sedang asyik bermain bola di lapangan bola bergegas kembali ke rumahnya. Ibunya tak ada di rumah. Bekarja pada sebuah keluarga kaya sebagai pembantu rumah tangga. Berangkat selapas subuh. Ba’da magrib baru kembali. Amin memiliki seorang kakak perempuan yang usianya 3 tahun lebih tua dari dirinya yang berusia dua belas tahun. Ita namanya. Putus sekolah. Dan bekerja apa saja: ngamen, jual koran atau minuman ringan, pokoknya apa saja yang penting halal.

Suara hujan jatuh di atap rumah yang terbuat dari seng. Mencipta semacam irama, “tik... tik... tik...” Amin segera menyambar payung yang tergantung di balik pintu kamar ibunya. Amin yang tahun ini akan segera mengenakan seragam putih-biru—kalau dia lulus, dan ibunya mampu bayar uang masuk SMP yang jumlahnya jauh lebih mahal dari DP sepeda motor—bergegas keluar rumah sambil meneteng payung.

Rinai hujan menderas. Angin berembus kencang. Sesekali langit terbatuk. Langkah-langkah tergesa. Mencari tempat berlindung dari guyuran hujan yang bagai dicurahkan begitu rupa dari ketinggian langit-Nya.

Terminal! Ke sana bocah yang tubuhnya langsung kuyup begitu keluar dari rumahnya itu melangkahkan kakinya. Tergesa.

Orang-orang yang baru turun dari angkot atau bus kota pasti tak ingin tubuhnya basah kuyup. Mereka butuh payung untuk bernaung, sebelum sampai di tempat teduh yang tak mungkin dijangkau oleh air hujan. Untuk jasa itu mereka tak ragu-ragu merogoh selambar seribuan untuk diberikan kepada pengojek payung seperti dirinya.

Dua armada angkot sekaligus masuk ke terminal dengan penumpang yang lumayan penuh. Amin dan beberapa pengojek payung lainnya segera berebut menyerbu.

“Payung, Bu!”

“Payung, Pak!”

“Payung, Mas!”

“Payung, Mbak!”

Pengojek dari berbagai tingkatan usia itu saling berebut memberikan payungnya masing-masing kepada penumpang yang berada di dalam angkot itu.

Seorang ibu mengambil payung dari tangan Amin. Bocah itu tersenyum. Kegirangan. Mengantarkannya ke satasiun kereta yang berada di belakang terminal itu. Ibu itu memberikan 2 lembar seribuan kepadanya. “Alhamdulillah...” ucap Amin mencium lembaran uang itu sebelum ditenggelamkan ke dalam saku celananya yang basah. Lumayan. Amin berdoa dalam hati, semoga hujan turun lebih lama lagi. Seorang bapak yang baru turun dari kereta, keluar dari dalam stasiun, memanggil dirinya. Amin segera memberikan payungnya kepada bapak yang berkaca mata tebal itu.

“Wah, kalau begini terus, bisa melunasi tunggakan SPP, nih,” batin Amin berucap.

Kembali ke terminal, dia melihat Ita, kakaknya itu sibuk berebut menawarkan payung pada penumpang angkot atau bus yang tak mau kuyup tubuhnya oleh siraman hujan yang telah menciptakan genangan beberapa centi di atas mata kaki.

“Min, kamu mangkal di depan plaza aja. Banyak pengunjung yang butuh payung!” usul Ita, begitu melihat Amin datang. Dia berjalan menguntit seorang mbak-mbak yang memegang payungnya.

Aha! Benar juga usul kakaknya itu. Lagipula, semakin banyak orang yang menawarkan payung di dalam terminal. Amin segera berlari ke muka plaza yang berada persis di depan terminal itu. Benar saja, di tempat itu banyak sekali pengunjung plaza yang berdiri menunggu hujan reda.

Hanya beberapa saat saja, Amin sudah dua kali mengantarkan pengunjung plaza hingga ke tepian jalan raya untuk menyetop angkot, pulang ke rumah. Amin begitu gembira. Namun kegembiraannya tak berlangsung lama. Hujan mulai mereda. Walau belum berhenti sama sekali. Orang-orang lebih memilih menerobos gerimis daripada menggunakan jasa tukang ojek untuk pergi ke tepi jalan raya, menyetop angkot, pulang entah ke mana.

Amin berdiri mematung. Bersandar pada salah satu pilar penyangga gedung plaza. Tubuhnya menggigil. Kedinginan. Perutnya mulai terasa keroncongan. Matanya sayu memandang kepada dua bocah sebaya yang duduk di salah satu meja di dalam sebuah restoran siap saji yang ada di sisi kiri muka plaza, bersama ibu mereka. Dari tempatnya berdiri, Amin tidak bisa melihat dengan jelas hidangan apa yang tersaji di meja makan di hadapan mereka. Dia hanya dapat melihat tiga gelas plastik minuman soda, dan dua kotak berisi... kentang? Tapi dia tidak perlu menduga-duga untuk sekedar menebak beberapa potongan ayam goreng lapis terigu yang mungkin terhidang di meja itu. Bukankah memang itu menu utama yang ditawarkan restoran siap saji itu?

Nyaris saja air liurnya retas dari ujung bibirnya yang biru. Dia menariknya kembali. Terdengar suara seperti orang menyeruput kopi panas.

Amin memejamkan mata. Saat membuka mata, dia menemukan dirinya telah berada di antara antrian, di depan meja gerai restoran siapa saji itu. Tubuhnya tidak kuyup. Bajunya tidak lusuh. Sangat bersih. Dan indah! Amin sampai terheran-heran memandangi penampilannya. Dan payungnya? Ke mana payungku? Amin masih mematung ketika seseorang menepuk pundaknya. Seseorang yang berdiri di belakangnya. Amin tidak menolehkan kepala. Dia maju ke depan meja gerai.

“Mau pesan apa, Dik? Senyum ramah terkembang dari pelayan restoran yang berseragam putih-merah.

“Oh, eh, itu... anu...” Amin tergagap.

“Mau paket satu? Paket dua? Tiga? Empat? Atau...”

“Saya pesan dua dada ayam, seporsi nasi putih, sekotak kentang dan minuman soda!”

Pelayan itu kembali tersenyum. Beranjak sesaat dari meja gerai, kemudian kembali membawa baki pesanan Amin. Lalu wanita yang berdiri di belakang mesin hitung berucap, “Jadi dua puluh ribu!”

Ups... dari mana dia punya uang sebanyak itu? Amin merogoh saku celananya yang berwarna putih bersih.

“Sekalian saya yang bayar, Mbak!”

Suara itu? Amin menoleh. Ibu? Dan... Kak Ita?! Mereka berdua menggunakan busana yang sangat indah. Seperti... Amin teringat dengan dua bocah sebaya yang duduk di salah satu meja di dalam restoran itu, bersama ibu mereka. Penampilan ibunya, Kak Ita dan dirinya mirip sekali dengan pakaian yang dikenakan mereka.

Entah sebuah kesengajaan atau bukan, Amin bersama ibu dan Kak Ita mengambil tempat di meja, dimana tadi Amin melihat kedua bocah sebaya dirinya, bersama ibu mereka duduk. Mereka makan dengan lahapnya.

Seumur hidupnya, baru kali itu lidah Amin merasai ayam goreng lapis terigu dan kentang gorengnya. “Luuuueeeezzzaaattt!” begitu ucapnya, sambil mengunyah potongan ayam yang baru saja dicaploknya. Selama ini dia hanya bisa membayangkannya saja, manakala lewat di tempat itu, lubang hidungnya menangkap aroma yang mungkin berasal dari ayam-ayam goreng lapis terigu atau kentang-kentang yang tengah berkubang di dalam minyak panas.

Tapi sekarang? Dia sungguh-sungguh merasainya!

“Ah, benar-benar seperti mimpi...” gumamnya, dengan suara yang hanya mungkin di dengar oleh telinganya sendiri. Tapi bukankah kehidupan di dunia memang serupa mimpi? Mengapa tidak harus seperti mimpi?

Amin beranjak ke meja gerai, memesan beberapa potong ayam dan beberapa kotak kentang goreng, setelah menghabiskan pesanan pertamanya. Kemudian kembali ke mejanya membawa baki yang baru.

Dia baru akan mulai menyantap potongan ayam goreng—yang terlebih dahulu telah dia celupkan ke saus sambal—ke mulutnya, ketika tanpa sengaja, bola matanya mengarah ke luar jendela, dan menangkap sesosok tubuh kuyup tengah berdiri menyandar di salah satu pilar penyangga gedung plaza, tangannya bertumpu pada sebuah payung, seperti seorang kakek tua yang membutuhkan sebuah tongkat penyangga untuk menjaga tubuhnya. Bocah itu memandangi dirinya dengan tatapan yang seolah-olah memendang keinginan dan harapan. Amin membuka matanya lebar-lebar, berusaha menegaskan penglihatannya. Dia seperti tak percaya. Dikucek-kucek kedua biji matanya. Tapi sosok itu tetap berdiri di sana. Nyata. Dan masih dengan rupanya yang tak berubah. Sososk yang begitu sangat dikenalnya. Tapi bagaimana bisa? Amin seolah bertanya pada dirinya sendiri. Bocah itu persis sekali dengan... dirinya!

“DOR!”

Amin terkejut. Dia membuka mata. menemukan Ita, kakanya, sudah berdiri di depannya. Tapi, ke mana Bunda? Dan baju... Amin menggigil kedinginan. Dia mengamati pakaian lusuhnya yang kuyup oleh siraman hujan. Dia masih berdiri dengan kedua tangan bertumpu pada payungnya, seperti seorang kakak tua yang membutuhkan tongkat untuk menjaga tubuhnya.

“Kenapa, sih?” tegur Ita melihat Amin kebingungan.

Amin tak menjawab. Dia malah memalingkan wajahnya cepat, memandang ke arah restoran siap saji yang berdiri di sisi kiri muka plaza. Kedua bocah sebaya dirinya yang duduk di salah satu meja di dalam restoran itu, bersama ibu mereka, masih di sana. Salah seorang dari bocah itu mamandangi Amin dengan tangan menggenggam potongan ayam yang siap dilesapkan ke dalam mulutnya yang menganga, namun urung.

Amin mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari saku celanyanya. Lumayan pendapatannya dari mengojek. Dia sempat berpikir untuk membeli ayam goreng lapis terigu dengan uang itu. Kalau hanya sepotong, barangkali cukup. Tapi dia segera teringat dengan tunggakan SPP yang harus segera dilunasinya. Itu pun masih jauh dari cukup. Cari uang jaman sekarang memang tidak mudah. Apalagi untuk seorang bocah seusianya.

Hujan masih menyisakan rintiknya.

“Pulang, yuk!” ajak Ita.

Amin mengangguk. Melangkah gontai. Dia masih sempat menoleh ke arah restoran siap saji yang berada di sisi muka plaza, sebelum naik ke tangga penyeberangan yang menghubungkan plaza dengan terminal. Bocah yang tadi memandanginya sudah kembali asyik menikmati ayam goreng lapis terigu. Amin tertunduk. Lesu. Dia memegang perutnya yang keroncongan.

Sampai di rumah, ibunya tak ada di rumah. Belum kembali dari rumah majikannya.

“Kak, aku lapar...”

“Sama...”

Di atas meja makan hanya ada nasi putih dan beberapa potong tempe goreng sisa pagi tadi. 


Rumah Cahaya, 20 / 03 / 05 2:25:02 WIB

Oleh Denny Prabowo
Dimuat di Majalah Aneka Yess!
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini