Tragedi Cinta Bimo


Novel Denny Prabowo
Diterbitkan oleh Lingkar Pena PH, 2006

Edelweiss sedang tengelam dalam kisah-kisah petualangan si Roy yang termuat dalam buku kedua Balada Si Roy, Avonturir. Dia menemukan buku itu terselip di antara buku-buku lain di rak buku kakaknya. Dia sampai pada bagian kedua dari kisah di dalam buku itu yang diberi judul Ziarah. Gadis tomboy itu sampai menitikan airmata ketika membaca adegan saat si Roy membersihkan makam papanya yang tak terawat dengan mata yang berkaca-kaca. Dia teringat pada ayahnya. Gadis semampai yang memiliki rambut panjang sepinggang itu merasa memiliki nasib yang sama dengan tokoh fiktif rekaan Gola Gong itu. Papa si Roy meninggal dalam sebuah pendakian di gunung. Si Roy masih lebih beruntung karena dia memiliki seorang mama. Sementara si tomboy… dia tak pernah melihat wajah ayahnya. Bahkan ayahnya tak pernah tahu kalau dirinya ada. Karena ayahnya meninggal dalam sebuah misi penyelamatan di Gunung Slamet, saat dia masih dalam kandungan. Dan ketika dia duduk di bangku sekolah dasar, bundanya meninggal dunia karena kanker yang bersarang di hatinya.

Konsentrasi membacanya pecah saat telinganya menangkap kegaduhan di luar kelas. Ketika itu jam istirahat sekolah.

“Elo suka sama gue?” wajah Sisca sinis, “Nekat amat sih, Lo?!” seperti api, menyembur dari mulut gadis yang dilabeli ‘tercantik’ oleh kaum Adam di sekolahnya. Gadis yang wajahnya selalu diselimuti make up tebal, meludah ke lantai. Lalu dengan tapak sepatunya, dia menginjak-injak ludahnya sendiri, seolah dia sedang menginjak-injak wajah pemuda gemuk di hadapannya.

Wajah Bimo mengeras. Matanya menyala. Kaldera hatinya bergolak. Dia memandangi lantai tempat Sisca membuang ludah dan menginjak-injaknya. Ada perih di matanya. Dia seolah sedang memandangi dirinya yang terinjak-injak.

“Heh, gendut!” maki Agnes, “Tahu diri dong kalau mau cari pacar! Masa’ gorila mau berpasangan sama burung merak… nggak level tau! Cari dong gorila betina yang mau sama elo! Atau jangan-jangan… gorila juga nggak ada yang mau sama elo???”

Orang-orang yang melihat kejadian itu tertawa. Sebagian hanya bisa memandangi iba. Sebagian lagi merasa gemas melihat kelakuan ketiga cewek borjuis itu, tapi hanya diperam dalam hati.

Edel mengawasi segalanya dari balik kaca jendela.

Seolah tak puas dengan perlakuan kedua temannya tadi, Astrid, cewek yang dandanannya seperti lelaki, meludai wajah Bimo. Mata Bimo nyalang memandangnya.

“Kenapa? Elo nggak suka?!” kata Astrid menantang.

Magma sudah naik hingga ke ubun-ubunnya. Tangannya mengepalkan tinju. Gunung berapi itu siap memuntahkan larva ke udara. Detik-detik terus bergulir. Namun pemuda berbobot 120 kg itu tak jua memuntahkan amarahnya. Pemuda yang selalu murah membagi senyumnya kepada siapa saja itu, menghapus ludah yang menempel di wajahnya. Kelopak matanya mengatup. Sorot amarahnya meredup. Bimo memandangi satu persatu wajah ketiga cewek yang mencemoohnya. Kemudian dia berlari meningalkan riuh rendah tawa di belakangnya.

“Kurang ajar!” Edel menggeram. Gerahamnya bergemerutuk. Dia paling tidak suka melihat orang yang merasa dirinya lebih sempurna, dan oleh karena itu merasa memiliki hak untuk merendahkan orang lain yang menurutnya tidak sempurna.

“Heh!” sembur si tomboy tepat di depan muka Sisca, bekas teman sekolahnya semasa di SMP, “Kalau elo nggak suka sama Bimo, ya udah. Nggak usah pakai dihina di depan orang banyak begitu! Kalian pikir, kalian lebih sempurna dari Bimo yang gendut itu?! Ala… tampang kalian aja keren, tapi otaknya kosong!”

Bagai dilempari kotoran, wajah ketiga cewek yang ke mana-mana selalu bersama itu, menjadi merah menyala. Astrid, gadis berotot yang gayanya seperti lelaki mendorong keras tubuh Edel.

“Elo mau apa?!” matanya melotot, menantang.

Edel yang sudah lama muak melihat tingkah Astrid yang merasa sudah gagah dengan berlagak laiknya seorang lelaki itu, tak banyak menjual kata. Dia langsung melayangkan tinjunya ke arah rahang Astrid yang terbuka.

Buk!

Kepala Astrid bagai terlepas dari batang lehernya. Matanya membeliak. Kosong. Gadis yang rambutnya dicepak ala tentara itu ambruk ke lantai, setelah beberapa saat terhuyung-huyung.

Orang-orang yang melihat kejadian itu terdiam, terpana. Tak ada kata-kata. Mereka shock melihat cewek perkasa itu rubuh hanya dengan sekali pukul.

Edelweiss meringis memegangi telapak tangan kanannya.

Edelweiss keluar dari ruang BP. Wajahnya masam.Tangan kirinya menenteng secarik kertas.

Dinda segera menghampirinya. Gadis berjilbab itu hanya mendengar perkelahian barusan dari teman-teman kelasnya. Dia sedang berada di sekertariat Palatara saat kejadian itu berlangsung.

“Aku diskors tiga hari!” katanya mendongkol. Dia menunjukkan kertas yang dipegangnya sambil terus melangkah. Adinda menjajari langkahnya.

“Seharusnya kamu nggak perlu bertindak sejauh itu.”

“Kamu nggak lihat sih wajahnya saat itu.”

“Siapa?”

“Bimo!” Edel menghentikan langkahnya. Memandang ke arah Adinda. Matanya masih menyimpan bara. “Astrid meludahi wajahnya!”

“Astaghfirullah!” Adinda terkejut. Geleng-geleng kepala. “Mereka memang keterlaluan.”

Si tomboy merapikan buku-buku pelajarannya. Memasukkannya ke dalam tas pungungnya. Dia melirik ke arah meja Bimo. Tasnya masih tertinggal di sana. Tapi ke mana pemiliknya? Edel coba menanyakan teman-teman sekelasnya. Tapi tak seorang pun yang tahu.

Edel termenung. Dia teringat dengan ekspresi wajah Bimo ketika Sisca dan teman-temannya mencemoohnya. Masih teringat olehnya bagaimana pemuda murah senyum itu menghapus airmata yang menganaksungai di kedua belah pipi bulatnya, sambil berlari menjauhi riuh rendah tawa di belakangnya. Edel mengenal pemuda itu sebagai seorang yang sangat sensitive.

Ah, Bimo… gumamnya. Ada gelisah menyelinap tiba-tiba. Entah apa. Dia tak terlalu mempedulikannya.

Si tomboy menyandang tas punggungnya.

“Akh!” dia meringis. Telapak tangannya terasa ngilu.

“Keseleo, Del?”

“Sepertinya begitu.”

Adinda memegang telapak tangan Edel yang terkilir. Edel meringis menahan ngilu.

“Cepat diurut, Del.”

Edel mengangguk.

“Aku pulang dulu.” Edel beranjak keluar kelas. Sebelum dia melewati pintu, Edel menoleh ke arah teman-temannya. Tersenyum. “Sampai bertemu tiga hari lagi!” katanya terkekeh. Teman-temannya mengepalkan tangan ke udara, memberikan dukungan kepadanya.

Adinda memandangi puggung sahabatnya, sampai gadis semampai itu menghilang di balik tikungan. Edel, Edel… Adinda geleng-gelang kepala.

^^^

Edelweiss duduk di teras depan rumahnya. Membaluri telapak tangan kanannya yang terkilir dengan parem kocok. Dari ujung jemari hingga pergelangan tangannya tampak mulai membengkak. Dia meringis-ringis menahan nyeri.

Tiba-tiba dia tersenyum.

“Keras juga pukulanku…,” gumamnya. Dia mengekeh membayangkan wajah Astrid yang kena bogem mentah darinya.

Motor Fajar mesuk ke dalam pekarangan. Dia menambatkan Tiger 2000-nya.

“Kenapa tanganmu?” Fajar meletakkan tasnya di meja bundar. Melepaskan jaketnya, menyampirkannya di sandaran kursi.

“Keseleo,” jawab Edel sekenanya.

“Aku tahu,” kata kakaknya itu sambil mengempaskan tubuhnya ke kursi. “Yang kutanya, kenapa tanganmu bisa keseleo?” Sekarang dia merunduk melepas sepatu dan kaus kakinya. Tampak telapak kakinya yang pucat karena terlalu lama terbungkus sepatu.

“Jatuh waktu latihan climbing di sekolah.”

“Bukannya kamu latihan climbing setiap hari minggu?”

“I-iya… sebenarnya bukan latihan. Hanya iseng mengisi waktu istirhat.” Waktu mengatakan itu pandangannya dikubur ke lantai. Dia pura-pura sibuk membaluri telapak tangannya dengan parem.

“Makanya hati-hati kalau belum ahli.” Fajar mengacak-acak rambut adiknya. Si tomboy hanya meringis. Fajar masuk ke dalam.

Pfuh… Gadis hitam manis itu membuang nafas lega. Untung nggak ketahuan… ujarnya dalam hati.

Fajar menuangkan air dingin ke dalam gelasnya. Bismillah… ucapnya sebelum mereguknya. Dia meletakkan gelas kosong di meja. Membuka pakaiannya yang basah oleh keringat. Tangannya siap melemparkan pakaian itu ke dalam ember pakaian kotor, sebelum matanya tertumbuk pada secarik kertas yang terselip di saku baju seragam sekolah milik Edel yang telah lebih dahulu menghuni ember itu. Ceroboh! Batinya. Dia memungut kertas itu Lalu membaca tulisan di dalamnya. Keningnya mengerut. Matanya menyipit.

Berkelahi?! Pemuda gondrong itu geleng-geleng kepala. Dia segera beranjak ke teras depan.

Edel masih asyik mengurut-urut tangannya.

Fajar berdiri di depan pintu. Tangannya melambai-lambaikan surat pemberitahuan skorsing dari sekolahnya.

Si tomboy menepuk jidatnya. Ketahuan, deh…

“Jatuh saat panjat dinding?!” sindirnya.

“Mmh… a-aku…”

“Sejak kapan kau mulai suka berkelahi?!” suaranya ditekan.

Edel menunduk. Diam saja.

“Seandainya Ayah dan Bunda masih hidup… mereka pasti sangat kecewa dengan kelakuanmu.”

Edel mendesah. Terlintas di kepalanya wajah Bimo sesaat sebelum berlari entah ke mana. Sorot mata pemuda ramah itu manari-nari di kepalanya. Sorot mata yang memeram bara. Api di matanya meredup. Seperti tak ada kehidupan di sana. Ah… Edel malah asyik dengan pikirannya sendiri.

Fajar menyentuh dagu lancip adiknya. Mengangkat wajahnya.

“Coba jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba kamu bertingkah brutal seperti Mike Tyson?” Kali ini dengan suara yang lebih lembut.

“Bimo, Mas,” getir dia berucap.

“Temanmu yang gendut itu?”

“Iya.”

“Kenapa dengan dia?”

“Dia mencintai Sisca. Mas masih ingat dengan teman SMP-ku itu kan?”

“Lho… bukannya dia di Australia?”

“Sudah lama dia kembali ke Indonesia. Dia sekolah di tempatku.”

“Aku kok baru tahu ya…”

“Makanya… perhatiin adiknya!”

Fajar tersenyum menahan tawa melihat bibir Edel yang maju sampai tiga senti.

“Lalu apa hubungannya dengan kamu?”

“Ya… nggak ada sih. Aku cuma nggak suka aja melihat Sisca dan teman-temannya mencemooh teman sekelasku itu. Mauku, kalau Sisca nggak suka sama Bimo, dia ‘kan bisa ngomong baik-baik. Nggak usah pakai dihancurkan harga dirinya di depan teman-teman satu sekolahan. Dan yang bikin aku emosi, Astrid, teman Sisca yang lagaknya kayak lelaki itu meludahi wajah Bimo!

“Aku tagur Sisca dan teman-temannya! Mereka nggak terima. Bahkan si Astrid mendorongku dengan kasar. Dia menantang aku berkelahi. Aku sudah lama muak dengan anak itu. Kuberi dia hook kanan tepat di rahangnya!” si tomboy memraktekkannya. Dia mengayunkan hook dengan tangan kanannya ke arah Fajar.

Ups… Fajar mengelak.

“Lalu?”

“Jatuh.”

“Siapa?”

“Ya, Astrid!”

“Langsung jatuh??”

“Pingsan!”

“Dengan sekali pukulan?!”

Edel menunjukkan bishepnya. Gayanya seperti petinju yang baru meng-KO musuhnya.

Fajar terkekeh melihat tingkah adik sematawayangnya.

“Coba lihat tanganmu.” Fajar menggamit lengan Edel yang terkilir.

“Akh!” Edel memekik, “Pelan-pelan, dong!” si tomboy misuh-misuh.

“Sisca dan kedua temannya memang keterlaluan. Tapi nggak perlu pakai kekerasan untuk menegur mereka. Coba kau sentuh mereka dengan kelembutan. Terkadang, kelembutan itu bisa lebih menghancurkan. Batu saja bisa hancur oleh tetesan air yang terus-menerus.” Fajar menasehati.

Edel mengangguk.

“Besok tanganmu harus diperiksakan ke dokter. Takut ada yang patah.”

^^^

Jalan raya pagi hari terlihat sangat sibuk. Angkot-angkot yang suka berhenti sembarangan menyebabkan jalanan menjadi semakin semerawut. Bayangkan, 800 unit angkot D 02—jurusan Teriminal-Depok II Timur—yang beroperasi! Belum lagi miniarta, angkot jurusan lain dan kendaraan-kendaraan pribadi yang meramaikan jalan-jalan kota Depok. Depok kini, tak ubahnya Jakarta, kemacetan di mana-mana!

Wajah manis Edel yang bersimbah peluh, berkilatan ditimpa cahaya mentari. Dia baru saja memaki sopir angkot D 02 yang hampir menyeruduk motor yang ditumpanginya. Kalau saja kakaknya yang memegang kemudi tak sigap berkelit… Si tomboy tak ingin membayangkannya lebih lanjut.

Di lampu merah Apotik, Fajar membelokkan motornya ke arah pasar Depok Lama, terus ke arah Sawangan. Di RS Bakti Yudha yang tak berapa jauh dari sekolahan Edelweiss, Fajar membelokkan motornya. Mereka bermaksud memeriksakan tangan Edel yang sudah seperti mengenakan sarung tinju itu.

Tapi baru saja motor mereka melewati gerbang rumah sakit, suara sirene menyalak memaki mereka untuk segera menepi. Tergesa ambulans itu langsung menuju UGD.

Si tomboy melompat turun dari sadel motor. Dia merasa mengenali wanita paro baya dan seorang gadis berkacamata—lebih tua dua tahun dari si tomboy—yang keluar lewat pintu belakang ambulans bersama beberapa orang berseragam putih-putih.

“Sebentar, Mas!”

“Mau ke mana?” Sia-sia Fajar menanyakannya. Gadis itu sudah berlari menghampiri mobil ambulans.

“Tante!” panggil Edel. Wanita bertubuh subur itu tak mendengarnya. Si tomboy mempercepat langkahnya. Wajahnya ikut-ikutan tegang.

Bimo?!

Jantungnya memompa cepat, membuat dadanya berdebar-debar. Dia melihat teman sekelasnya itu terbaring lemas di atas kereta dorong. Mulutnya tampak berbusa.

“Sampai di sini saja, Bu!” seorang suster rumah sakit melarang mereka masuk ke ruang UGD.

Wanita itu tampak sangat gelisah.

“Apa yang terjadi dengan Bimo, Mbak?”

Kakak sulung Bimo yang berkacamata itu memandangi si tomboy. Dia seperti sedang berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya itu.

“Saya Edelweiss, Mbak. Teman sekelasnya Bimo.”

Ibunda Bimo semakin tak dapat mengendalikan dirinya. Dia memukul-mukul dinding rumah sakit. Gadis berkacamata tebal itu mencoba menenangkan orangtuanya. Dia membimbing wanita bertubuh subur itu duduk di kursi yang tersedia di ruang tunggu.

“Apa yang terjadi, Mbak?” Edel mengulangi pertanyaannya pada kakak sulung Bimo yang kelihatan lebih tabah dari ibunya itu.

“Bimo,” katanya. Mengatur nafasnya. Kemudian melanjutkan ucapannya, “Dia mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga!” getir suaranya.

“Astaghfirullah!”

Tiba-tiba, peristiwa di sekolahnya saat jam istirahat kemarin, berkelebat di kepalanya. Aku nggak menyangka kalau dia akan berbuat sejauh ini… si tomboy menyesali dirinya.

Pintu ruang UGD terbuka. Dokter yang menangani Bimo keluar dengan wajah lesu.

“Maaf…kami sudah berusaha, tapi Tuhan juga yang menentukannya…” Suaranya penuh tekanan.

Tangis wanita paro baya itu meledak. Histeris. Sebelum akhirnya menggelosor ke lantai. Pingsan.

Gadis berkacamata yang bersamanya hanya membeku seolah tak percaya kalau adik bungsunya telah tiada. Dipandanginya wajah adiknya yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit.

Dada Edelweiss terasa sesak. Dia memandangi wajah kakaknya. Terisak menahan perih.

“Mas lihat akibat dari perbuatan Sisca dan kedua temannya ‘kan?!” getir. Jiwanya terguncang.

Fajar merangkul pundak adiknya. Membenamkan kepala gadis itu ke dadanya.

Begitulah cinta. Dia bisa menjelma apa saja. Kadang terlihat selembut awan, sejernih air telaga, bergelora seperti nyala api. Ketika dia menjelma nyala api, dia bisa membakar siapa saja. Dan manusia seringkali dibuatnya menjadi buta, sehingga menganggapnya laksana dewa-dewi yang patut disembah, dan menyerahkan apa pun yang dimintanya. Jangan pernah bermain-main dengan cinta, kalau tak ingin terbakar olehnya.

Matahari merangkak naik semakin tinggi.***

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini